Sunday, September 2, 2012

,

Mahaguru Spektakuler BIOGRAFI DUA GURU K.H. NOER ALIE: GURU MARZUKI DAN SYEKH ALI AL-MALIKI


Mahaguru Spektakuler
BIOGRAFI DUA GURU K.H. NOER ALIE:
GURU MARZUKI DAN SYEKH ALI AL-MALIKI


Oleh: H. Irfan Mas’ud, MA

الآ لن تنال العلم الاّ بستة     #      سأنبيك عن مجموعها ببيان
 ذكاء وحرص واصطبار وبلغة     #     وإرشاد أستاذ وطول زمان
            Pada edisi kreasi sebelumnya, telah dimuat profil KH. Noer Alie, sang Singa Karawang Bekasi. Sumbangsih dan dedikasihnya yang teramat besar khususnya dibidang pendidikan, membuatnya memiliki tempat tersendiri di hati setiap orang yang mengenalnya, apalagi murid-muridnya. Mahaguru, mungkin itulah julukan dari kesekian julukan lainnya yang pantas disematkan pada beliau.
                Namun tetap saja, dunia ini hanyalah putaran dari sebab musabab. Kecerdasan dan kegigihan “si Belut Putih” -begitulah KH. Noer Alie kerap disebut- tak lepas dari pemilihan lingkungan dan pergaulan yang tepat. Di samping itu, orang-orang spektakuler yang menjadi gurunya pun memiliki pengaruh dan sumbangsih yang tak kalah besar terhadap kesuksesan beliau. Diantaranya adalah Guru Marzuki dan Syekh Ali maliki. Berikut kilasan biografi dan riwayat hidupnya:

·         K.H. AHMAD MARZUKI AL-BETAWI (1293 – 1353 H/1876 – 1934 M)

Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki. Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia.

Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu

Pada saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat ayahnya. Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki dikirim oleh sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk memperdalam Al-Qur'ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik (turats) dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan Marzuki-muda, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang saat itu berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun.

Selama tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci dipergunakan Guru Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari para ulama terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru Marzuki, antara lain: Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani (w. 1329 H.), Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami (w. 1354 H.), Syekh Abdul karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori (w. 1349 H), Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi (w. 1337 H.) dan lain-lain.

Ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu, shorof, balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh, hingga ke ilmu falak (astronomi). Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-‘Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.) yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H/1886 M.), Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah.

Dalam disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo University (hal. 63 – 66), Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah seorang pakar hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran hadits-hadits nabi di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya.

Sistem Mengajar dan Para Muridnya

Sesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama 5 tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang yang mayoritas datang dari wilayah utara dan timur Jakarta (termasuk Bekasi).

Guru Marzuki biasa mengajar muridnya sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para murid mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya.

Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki untuk konsumsi masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya lah yang secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak tumbuh menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang, seperti KH. Noer Alie (pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi), KH. Mukhtar Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul malik (putra Guru Marzuki), KH. Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH. Abdullah Syafi’i (pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin) dan ulama-ulama lainnya. Selain KH. Abdul Malik (Guru Malik), putera-putera Guru marzuki yang lain juga menjadi tokoh-tokoh ulama, seperti KH. Moh. Baqir (Rawabangke), KH. Abdul Mu’thi (Buaran, Bekasi), KH. Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi).

Guru Marzuki dan Jaringan Ulama Betawi

Dalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi lainnya, yaitu: KH. Moh. Mansur (Guru mansur) dari Jembatan Lima , KH. Abdul majid (Guru Majid) dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli (Guru mahmud) dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni (Guru Mughni) dari Kuningan-Jakarta Selatan .

Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia (Jakarta dan sekitarnya). Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh “enam pendekar-ulama Betawi” hasil gemblengan ulama haramain inilah yang kelak menjadi salah satu pilar kekekuatan mereka sebagai kelompok ulama yang diakui masyarakat dan telah berjasa menelurkan para ulama terkemuka Betawi selanjutnya.

Wafatnya
Guru Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1388/1968) .

Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.
·         
SYEKH MUHAMMAD ALI AL-MALIKI (1287 – 1367 H/1870 – 1948 M)

Nama lengkap beliau adalah “Muhammad Ali bin Husain bin Ibrahim bin Husain bin ‘Abid al-Makki al-Maliki, berasal dari keturunan Maroko yang lahir dan menetap di Mekah. Syekh Muhammad Ali al-Maliki dikenal sebagai “Mahaguru pada masanya” (Syaikh masyayikh ‘ashrihi), dan karena kepakarannya yang tak tertandingi dalam bidang gramatika bahasa Arab, dijuluki sebagai “Sibawaihi zamannya” (Sibawaihi zamânihi).

Syekh Al-Maliki dilahirkan di kota Mekah pada tahun 1287 H/1870 M dan meninggal di kota Tha’if pada tahun 1367 H/1948. Di antara guru-guru yang membekalinya ilmu-ilmu keagamaan dan tatabahasa Arab adalah saudaranya sendiri yang saat itu menjabat sebagai mufti mazhab Maliki di Mekah, Syekh Abid bin Husain al-Maliki (w. 1292 H) . Salah satu karyanya adalah “Tadrîb ath-Thullâb fi Qawâ‘id al-I‘râb”,.  Di samping menguasai fikih Maliki, beliau juga mendalami dan menguasai fikih Syafi’i di bawah bimbingan seorang faqih shufi, Syeikh Sayyid al-Bakri Syatta (lahir 1310 H), pengarang kitab I‘anah ath-Thalibin, sebuah kitab fikih Syafi’i yang menjadi buku daras di berbagai pesantren di Indonesia, termasuk di Pesantren Tinggi Attaqwa. Dan masih banyak ilimu-ilmu lainnya seperti ilmu hadis dan tashawuf,yang semakin membuatnya sangat layak untuk disebut dengan Mahaguru.

Setelah menamatkan pelajarannya di bawah bimbingan para ulama Haramain terkemuka di masanya, Syekh al-Maliki mendermakan ilmu dan hidupnya mengajar di Masjidil Haram dan Madrasah Darul Ulum, Mekah, yang didirikan oleh ulama-ulama haramain asal Melayu-Nusantara, dan menjabat sebagai pimpinan para syekh (Syaikhul Masyayikh) sejak pertama kali madrasah tersebut berdiri pada tahun 1933 . Kepakarannya di berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman dan tata-bahasa Arab, menjadi magnet tersendiri bagi para pelajar Arab dan non-Arab —bahkan tidak sedikit yang sudah bergelar ulama— yang datang berguru kepadanya. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hampir seluruh ulama Hijaz dan para penuntut ilmu dari Melayu-Nusantara (yang mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan dan Brunei) yang menjadi muridnya. Salah satunya adalah Syekh Hasan al-Masysyat (w. 1399 H). Adapun murid-murid beliau yang berasal dari Indonesia, antara lain: Syekh Muhsin al-Musawa (w. 1354 H.) , “Enam Pendekar-Kiyai Betawi” (Guru Mansur, Guru Majid, Guru Romli, Guru Marzuki, dan Guru Mughni), Musnid ad-Dunya Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (w. 1990) , KH. Noer Alie (w. 1992 M.) dan lain-lain.

Hubungan Syekh Ali Maliki dengan KH. Noer Alie

Hubungan K.H. Noer Ali dengan guru yang satu ini memang agak lebih istimewa dibandingkan dengan guru-gurunya yang lain di Haramain. Keistimewaan itu terlihat karena Guru Marzuki yang juga murid Syekh Ali al-Maliki, diduga kuat telah merekomendasikan KH. Noer Alie untuk melanjutkan pelajarannya langsung di bawah bimbingan Syekh al-Maliki yang pernah menjadi gurunya di Mekah.

Selain itu, keistimewaan Syekh al-Maliki bagi KH. Noer Alie juga terlihat dari beberapa ijazah hizb dan wirid yang didapatkannya langsung dari Syekh Ali al-Maliki. Ijazah (sertifikasi) wirid dan hizb ini menunjukkan inisiasi Syekh Ali al-Maliki dan para ulama di masanya pada tasawuf-sunni —lawan dari tasawuf falsafi— yang berupaya mengharmonisasikan antara aspek lahiriah-eksoteris (syariat) dan zuhud-esoteris (hakikat), suatu upaya yang kemudian diikuti dengan setia oleh murid-muridnya, termasuk KH. Noer Alie dan para murid beliau yang setia.

Wallâhu A‘lam.

0 komentar:

Post a Comment