Tidak seperti pagi biasanya, kali
ini Haris berdandan sangat rapi. Kemeja lengan panjang dan celana bahan serta
rambut yang diminyaki membuat penampilannya seperti orang kantoran kebanyakan.
Haris yang tamatan universitas buram di Jakarta ini berniat untuk mencari kerja
di gedung-gedung kantoran megah yang tersebar apik di daerah Sudirman, Thamrin,
dan Kuningan. Tekadnya sudah bulat, ia harus bekerja kantoran biarpun jadi babu
waktu yang selalu diburu.
Keluarga Haris memang bukan
keluarga yang bisa dibilang kaya, bahkan untuk mencapai kata cukup saja
terkadang sulit. Ayahnya Haris, Haji Usin cuman tamatan HIS (Hollandsch
Inlandsch School) bahkan ibunya Mpok Maryam tidak makan bangku sekolahan.
Nafkah harian Haji Usin datang dari usahanya jualan Bir Pletok dengan dibantu
Mpok Maryam yang rajin bangun pagi jadi tukang cuci. Bir Pletok yang merupakan
minuman khas betawi sudah hampir mendekati kepunahan, sama seperti orangutan
yang masuk kedalam daftar CR (Critically Endangered) di IUCN. Seharusnya ada
juga lembaga nasional atau internasional yang membuat daftar budaya atau ciri
khas daerah yang hampir punah, sehingga bisa dipikirkan cara konservasi yang
terbaik.
Kehidupan Jakarta sekarang ini
memang sudah beda, Haji Usin dulu sempat jaya dengan Bir Pletoknya. Bahkan Haji
Usin sangat terpandang sebagai orang asli Betawi yang pertama kali bisa naik
haji tanpa jual tanah. Tetapi selang beberapa tahun terakhir datang serbuan
dari restoran ataupun produsen-produsen eropa yang membawa minuman bersoda atau
bahkan bir betulan yang membuat Bir Pletok semakin tersingkirkan. Haris yang
merupakan anak muda masa kini, memang tidak termasuk golongan alay tetapi
mungkin termasuk kaum lebay.
Gara-gara senyum manis dari gadis
bernama Janice yang asli dari Ciamis, membuat Haris hampir gila. Janice hanya
mau menyambut cinta pria yang kerja di gedung besar full AC. Tadinya waktu
masih SMA, Haris bertekad untuk meneruskan usaha Haji Usin ayahnya. Haris
bertekad untuk menyelamatkan Bir Pletok dari ancaman kepunahan. Bahkan ia rela
tidak kuliah demi bisa menekuni minuman Betawi asli yang semakin redup. Apa
lacur, tamat SMA Haris jatuh cinta pada Rosa anak pedagang kaya asal Jepara.
Rosa hanya ingin pria yang kuliah punya gelar Sarjana. Alhasil setelah merengek
dan hutang sini sana jadilah Haris sarjana dari Universitas buram di Jakarta.
Namun sayang Rosa keburu jadi istri Pak Hamka dari Surabaya. Haris sempat
membulatkan tekadnya kembali untuk menjadi sekuriti budaya Betawi. Sampai tiba-tiba
Haris berkenalan dengan Janice di Kramat Jati. Racikan Bir Pletok Haji Usin
yang nikmat dan mantab ini ditakutkan punah.
Haji Usin pernah memberikan
catatan resepnya kepada Haris. Tertulis di selembar kertas: kayu secang, jahe
merah, kapulaga, lada hitam, cabe jawa, daun pandan, kayu manis, sereh, daun
jeruk purut, cengkeh, dan gula pasir. Haji Usin mengatakan kepada Haris bahwa
resep rahasianya adalah tambahan gula aren yang membuat Bir Pletok semakin
nikmat. Sayang mungkin hal ini sudah dilupakan Haris dan mungkin catatan itu
sudah menjadi debu. Jadilah Haris berangkat mencari kerja, dengan modal ijazah
dan belasan lembar surat lamaran lengkap dengan foto 3×4 dan CV sebagai
senjata.
Segera dia pamitan kepada orang
tuanya. Tiba ia di Sudirman, daerah yang menjanjikan gengsi tinggi tetapi belum
tentu tinggi digaji. Tiap gedung yang dimasuki tiap itu pula ia ditolak ”Tak
ada Lowongan” kata sekuriti dengan pasti. Tak menyerah, tak mengaku kalah,
Haris terus berusaha tanpa lelah. Tiba dia di Thamrin tempat mimpi menjadi
mungkin. Tiap bangunan tinggi Ia masuki, tapi yang didapat hanya janji-janji.
”Iya, nanti saya sampaikan kepada HRD. Sekarang bapak pulang saja dulu, tunggu
kabar dari kami.” kata sekuriti umbar janji. Langkah sudah goyah Haris terpaksa
pulang karena kaki sudah payah. Hari juga sudah sore saat ia selesai makan
janji-janji dari sekuriti.
Besok gue hajar kuningan disana
mungkin gue wujudkan impian, tekad Haris di hatinya.
****
Selepas Shalat Shubuh, seperti
biasa Haris ngopi di serambi. Ayahnya Haji Usin langsung ikut menemani. ”Ris,
babe tau elo mau jadi kayak orang kebanyakan. Orang nyang diatur sama waktu.
Jujur Ris, babe sama nyak lo nih pada dasarnya ngedukung ape aja yang lo
lakuin. Asalkan ntu masih dalam ranah igame.” kata Haji Usin memulai
pembicaraan. ”Gini Ris, kalo bisa sih…lo pikirin dulu dari hati lo nyang
terdalem. Ape maksud sama tujuan lo nyari kerja. Kalo emangan lo pengen maju,
babe jauh lebih seneng. Tapian kalo lo cuman pengen sama si Janice… Jujur babe
kurang sreg. Mendingan lu jadi kayak babe, tukang bikin Bir Pletok.” lanjut
Haji Usin sambil menghisap rokok kreteknya.
”Gini Beh, Haris tuh pengen jadi
orang. Selain pengen sama Janice, Haris juga pengen pake dasi naikin gengsi.
Haris dah pikir masak-masak kalopun gak dapat Janice, Haris tetep mau kerja
kantoran. Kan sayang Beh, ijazah sarjana cuman jadi tukang Bir Pletok.” kata
Haris pasti.
” Ya ude deh, Babe dukung semua yang lo
lakuin. Tapi jangan lu anggep remeh Bir Pletok! Gara-gara Bir Pletok lo bisa
dapat gelar sarjana.” Lanjut Haji Usin sedikit tersinggung. ”Iye Beh, Haris
paham” sanggah Haris. Begitulah saban pagi Haji Usin selalu mengingatkan Haris
mengenai jasa Bir Pletok dan bagaimana budaya Betawi itu sudah menyatu dengan
darah dagingnya.
***
Matahari sudah nonggol saat Haris
meminyaki rambutnya. Setelan lengkap bak karyawan kantoran menempel ditubuhnya
yang sedikit ceking sedikit gemuk dan sedikit berambut. Kuningan here i come,
tekadnya dalam hati. Selesai berdandan Haris langsung berpamitan dengan kedua
orang tuanya, tidak lupa ia mencium tangan dan memohon doa restu.
”Ris, sebelum lu berangkat Mak
mau ngasih bekel dulu nih. Siapa tau lo aus dijalanan.” Kata Mpok Maryam
sembari menyodorkan botolan kecil Bir Pletok.
”Alah Mak, kagak usah deh. Biar
nanti Haris beli aje minuman mineral di jalan.” Bantah Haris yang enggan
membawa Bir Pletok yang berwarna merah itu.
”Ris, tulung dah. Lu bisa kan nyenengin Mak
ama Babe lu. Timpangan bawa doang kagak suseh. Lagian tuh tas lu juga isinya
cuman map ama handuk kumel doang.” Sanggah Haji Usin. ”Iye dah, mariin biar
Haris masupin tas aje.” kata Haris sambil memasukan Bir Pletok tersebut kedalam
tasnya.
Berangkatlah Haris menuju
Kuningan daerah terakhir yang menjanjikan impian. Setelah beberapa kali naik
turun angkot akhirnya dia tiba juga di daerah tersebut. Sejenak Haris terdiam
entah karena lelah atau karena takjub melihat mobil-mobil keluaran terbaru lalu
lalang di sela-sela gedung-gedung nan megah. Haris mengumpulkan keberaniannya,
dia berjalan layaknya orang kantoran kebanyakan yang juga ikut lalu lalang di
sana. Tak ada yang mencurigainya sebagai seorang pengacara (pengangguran tanpa
acara). Kemeja tangan panjang dan celana bahan memang menjadi kostum seragam
walau beda warna beda merk dan beda belinya dimana.
***
Lebih dari 4 gedung 10 kantor ia
masuki, tapi tetap belum ketemu jawaban pasti. Hatinya jadi bertanya-tanya
apakah memang nasibnya hanya menjadi pembuat dan penjual Bir Pletok seperti
ayahnya. Sambil duduk di Kantin salah satu gedung megah ia tertegun meratapi nasibnya
yang jauh dari harapan. Udara yang panas menambah tinggi emosi yang berkobar di
dadanya. Sesekali ia menelan ludah melihat es doger atau cendol yang dijajakan
penjual disana. Ingin sekali rasanya ia menukar uang lima ribu rupiah yang ada
di kantongnya, tapi jika itu terjadi alamat ia akan pulang jalan kaki. Haris
teringat bekal yang dibawanya atas dasar paksaan tadi pagi. Sebotol minuman Bir
Pletok. Ia buka tas hitamnya dan diambilah sebotol minuman tersebut. Sedikit
ragu ia untuk membuka, karena udara panas dan Bir Pletok berguna untuk
menghangatkan badan.
Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya
Haris memutuskan untuk menukarkan minuman itu dengan sebotol minuman teh.
Untung bagi Haris karena, si penjual minuman bersedia untuk menukarnya. Setelah
menikmati minuman teh dingin tersebut Haris berniat pulang. Harapannya untuk
kerja kantoran pupus sudah. Sambil berjalan pelan ia berbisik dihatinya Ya
Tuhan, kenapa nasib gue begini banget yak.
Ujug ujug gue bakal nerusin usaha
babe gue…Kalo begini mana mau si Janice yang manis sama gue…berabe dah!
***
Sudah tiga hari yang lalu saat
Haris melakukan petualangan terakhirnya mencari kerja menjadi buruh waktu.
Cita-citanya menjadi orang kantoran dan meraih cinta Janice asal Ciamis pupus
sudah. Janice sudah jadi istri seorang bule dai Inggris dan kerja kantoran
hanya mimpi yang tragis. Dibawah pohon jambu diatas bale bambu Haris termangu
meratapi nasib yang kelabu. Ia lihat Mak-nya, baru pulang sehabis menjadi buruh
cuci. Ia rubah pandang menatap bapaknya yang sedang asik meracik. Ia sendiri
bingung mau apa, daritadi yang bisa dilakukannya hanyalah melamun dan merenung.
Berkali-kali Haris mengotakatik
HP nya, dulu Hpnya dia sering sekali berbunyi. Banyak pesanan Bir Pletok yang
didapat melalui nomer HP haris. Maklum hanya nomer HP itulah yang tercantum di
label Bir Pletok Haji Usin. Selain berbunyi karena pesanan, HP buatan Swedia
itu juga sering berbunyi dulu oleh Rosa dan terakhir ini oleh Janice. Tapi
sekarang seperti ganjalan pintu yang tidak bisa berbunyi. Waktu terus berlalu,
Haris pun semakin terbuai kedunia lamunan yang syahdu. Sampai tiba-tiba semua
lamunannya buyar oleh bunyi suara HP yang nyaring. Sebelum diangkat Ia pandangi
sesaat layar Hpnya, nomer yang asik tertampakan dilayar tersebut.
”Salamlekum, Selamat Sore. Mau
bicara sama siapa ya?” Kata Haris mengangkat telepon. ”Selamat Sore, ini benar
dengan Haji Husin?” balas suara berat berlogat bule.
”Iye bener, ini anaknya. Ada
keperluan apa ya? Haji Usinnya lagi sibuk tuh.” Jawab Haris takut yang
diajaknya bicara adalah rentenir atau tukang kredit yang menyamar.
”Oh baiklah kenalkan, nama saya
Vlad. Saya berasal dari Rusia.” balas suara tersebut. ”Oh, saya Haris. Ada
keperluan apa ya Mr. Vlad ?”. tanya Haris.
Lalu Vlad menjelaskan maksud dan
tujuannya adalah ingin menjalin kerjasama bisnis Bir Pletok. Vlad menjelaskan
bahwa Bir Pletok akan sangat laku di Rusia, karena mampu menghangatkan tubuh
tetapi tidak membuat mabuk.
***
Haris kembali termenung di bawah
pohon jambu di atas bale bambu yang dulu. Matanya menangkap gambaran Mak-nya
yang baru pulang setelah menjadi buruh cuci, ia palingkan tatapannya tertangkap
gambaran Babe-nya yang sedang asik meracik. Perlahan air mata membasahi pipi
Haris. Terbayang beberapa tahun yang lalu saat ia bersikeras menolak bekal
ibunya untuk pergi ke Kuningan. Betapa hatinya mangkel saat ia terpaksa
memasukkan botol Bir Pletok ke dalam tasnya. Sekarang sangat rindu hatinya akan
kehadiran mereka yang sudah lama pergi menuju Illahi.
Seorang wanita cantik datang
mencoba menenangkan Haris yang terlihat semakin larut dalam sedih. Wanita itu
mengenggam tangan Haris erat. ”Aisah, disini rumah abang yang dulu.” Lirih
Haris kepada wanita bernama Aisah itu.
”Iya bang, tapi abang jangan sedih dong.
Nanti Aisah ikut sedih.” Kata Aisah berusaha menenangkan.
”Aisah istriku yang solehah,
ruang rindu dan penyejuk kalbuku. Abang sedih tidak bisa lebih lama
menyenangkan kedua orang tua abang.” lanjut Haris.
”Iya Bang, tapi Mak ama Babe
udah di tempat nyang lebih baik bang. Mereka juga pasti bangga sekarang Bir
Pletok Haji Usin udah cukup punya nama di Rusia.” Kata Aisah lembut.
Beberapa saat lamanya Haris dan
Aisah berjalan mengitari daerah rumah Haris yang dulu. Sampai akhirnya mereka
kembali ke rumah mereka di daerah Pondok Indah. Di rumah itulah sekarang Haris
menjalankan bisnis Bir Pletok yang sudah disuplai secara tetap di Rusia.
Selesai. . .
sumber http://cerpenbetawi.wordpress.com/2011/03/24/bir-pletok/
0 komentar:
Post a Comment